Jumat, 28 Februari 2014

Manajemen Seni & Budaya

ORGANISASI seni membutuhkan manajemen dan sumber daya manusia yang cukup dan cakap untuk mengoperasionalkannya. Banyak organisasi seni didirikan, tiba-tiba terjadi perpecahan, atau tidak jalan karena salah urus (keuangan) dan sejenisnya. Cara pengelolaan organisasi seni secara seenaknya dan sekenanya jelas melakukan perbuatan sia-sia.
Organisasi seni tidak dapat dijalankan secara improvisasi, atau tanpa perencanaan matang. Kini, sudah banyak bukti pengelolaan yang improvisatoris menunjukan kelemahan dan kegagalannya ketika hendak menembus tata kelola professional, dan tantangan zaman modern yang memerlukan efisiensi, rasional, dan efektivitas program kerja yang jelas. Ketidak berkelanjutan organisasi seni karena tidak dikelola secara baik sebagaimana syarat manajemen organisasi, sehingga mati suri, atau tinggal papan nama. Oleh sebab itu, organisasi seni membutuhkan manajemen organisasi dan perencanaan matang. Tanpa perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, pengawasan, atau evaluasi program kegiatan seni akan berdampak pada program dan kinerja organisasi senipun kurang optimal.
Sembilan Langkah ke Dalam
Banyak kasus lembaga atau organisasi yang dibentuk tanpa perencanaan yang matang, sehingga hanya bertahan beberapa tahun saja, dan menghilang karena belum memakai perencanaan yang matang. Jangankan mengurus keuangan, mengurus kebutuhan sendiri pengelola dengan aturan dan mekanisme saja sering terabaikan. Apalagi soal program kerja , atau melaksanakan administrasi rutin organisasi sering kedodoran, sedangkan penyusunan notulen rapat atau pertemuan kurang di perhatikan.
Apakah organisasi seni budaya di era global masih mengidap “penyakit” orpan (organisasi papan nama) atau senkom (sentiment komunitas)? Tentu saja, semua ingin memiliki organisasi dan lebaga seni-budaya yang kuat dan bonafit. Sedikitnya ada Sembilan syarat menuju organisasi dan lembaga seni budaya yang sehat, serta berdaya guna.
Pertama, para pengelola harus memiliki modal, sedikitnya modal berani berorganisasi. Modal berani berorganisasi ditindaklanjuti dengan membuat akta notaris, atau siap melangkah ketindakan legal formal, dan konsekuensi logis dari sebuah organisasi seni-budaya yang bertanggungjawab. 
Oleh sebab itu, organisasi lembaga seni-budaya wajib memiliki akta notaris lembaga atau organisasi budaya. Konsekuensinya, harus berani memilih salah satu sebagai badan hokum yayasan, lembaga, usaha perseorangan, persekutuan komanditer (CV), atau PT (Perseroan Terbatas). Setiap pilihan bentuk lembaga berakta notaris atau berbadan hukum tentu saja ada tautan konsekuensinya.
 Perusahaan profit atau lembaga non-profit. Perseorangan, CV, dan PT sebagai usaha profit. Sedangkan yayasan dan lembaga cenderung bersifat non-profit. Tampaknya, model yayasan dan lembaga (pendidikan, pengembangan) untuk seni budaya yang di anggap paling sesuai. Kecuali, memang bersifat komersial dengan membuat event organizer, bisnis seni pertunjukan, atau industri kreatif memakai CV atau PT. 
Contoh lembaga seni budaya berbasis pendidikan seni : LPK Tari Natya Lakshita Didik Nini Thowok, atau berbentuk yayasan seperti Yayasan Kelola, Yayasan Bagong Kussudiarja, Yayasan Tari Miroto, LPK Amarta (Teater Amarta), dan beberapa organisasi sejenis yang sudah berakta notaris.
Kedua, para pendiri lembaga seni budaya memiliki motivasi, komitmen, dan tujuan yang jelas untuk saat sekarang ataupun masa depan. Salah satu wujudnya memberikan support modal awal, dan memberikan kepercayaan kepada manajer, atau pengelola untuk bekerja, membuat program, dan sejenisnya. Pemilik atau pendiri lembaga wajib memilah antara harta lembaga seni-budaya dan harta pribadi sebagai langkah awal yang cukup urgen agar tidak overlephing  antara harta dan hak pribadi, dengan kekayaan lembaga. Meskipun, lembaga seni-budaya yang didirikan merugi, harus tega menetapkan sebagai “hutang” bila ada transaksi peminjaman, atau memperoleh “hibah” dari pemiliknya atau pihak lain.
Ketiga, melengkapi perizinan sesuai ketentuan berlaku. Modal akta notaris saja belum cukup sebagai lembaga berbadan hukum. Perlu ijin gangguan (HO), NPWP, ijin lembaga pendidikan masyarakat (dikmas), organisasi budaya, atau legalisasi pengesahan akta ke pihak Depkumham, beserta jajaran sesuai sifat dan kebutuhannya. Kelengkapan administrasi dan perijinan menjadi pijakan dasar serta memotivasi diri untuk beraksi, bekerja dan membuat kegiatan. Maukah lembaga seni budaya yang sudah berbadan hukum bestatus “nihil”-isme karena laporan pajak nol terus-menerus tanpa perubahan atau progress ? Setidaknya, ada keinginan kuat untuk berkiprah dan berfaedah bagi masyarakat bila memiliki perizinan yang lengkap. Apalagi, bantuan pemerintah dan pemberi hibah non-pemerintah wajib menyertakan NPWP dan izin instansi terkait.
Kelima, utamakan membuat program kegiatan tahunan, jangka pendek, dan jangka panjang organisasi atau lembaga. Kelemahan umum organisasi budaya membuat kegiatan tanpa perencanaan yang matang. Kebiasaan berspontanitas dalam mengelola organisasi seni budaya sudah selayaknya dihindari karena resiko merugi, dan pelaksanaan yang kemungkinan besar kacau, juga kredibilitas lembaga dipertaruhkan. Setiap kegiatan minimal dipersiapkan sedikitnya 6 bulan, dan idealnya setahun sebelumnya. Sikap optimisme yang berlebihan bahwa pihak sponsor dan donator pasti mau dan ada untuk memberikan uang atau fasilitas dalam kurun waktu sebulan dua bulan bukan cara lazim dalam pihak manajemen memberikan dana untuk promosi. Kecuali, memang lembaga memiliki tokoh pelobi hebat dan bermitra sangat dekat, mungkin sebulan dua bulan untuk menggalang dana sponsor dapat berhasil. Semestinya, program dirancang dan dibuat dengan mengkomunikasikannya lebih baik kepada semua pihak mitra atau mitra potensial sesuai tema dan misi kegiatan.
            Perencanaan kegiatan organisasi seni-budaya bertautan dengan para pihak mitra, pemerintah, swasta, pemangku kepentingan, sumber daya, sumber dana, dan tujuan organisasi. Perencanaan internal dan membangun sistem kerja juga kinerja perlu dieksplisitkan dengan rancangan program yang inovatif, komunikatif, efektif, dan realistik. Gagasan kegiatan lembaga perlu dijabarkan arah tujuan, waktu pelaksanaan, dan alokasinya. Keluh-kesah “selalu merugi” dalam kegiatan seni-budaya, salah satunya, dikarenakan “salah perencanaan” dan sikap “percaya diri yang kuat” pasti ada yang nonton, donator banyak, dan sejenisnya. Padahal yang terjadi sebaliknya. Manajemen lembaga yang merugi karena menggunakan pola perencanaan model “mendadak” dan tidak mampu memprediksi kalkulasi untung ruginya.
            Keenam, membangun kemitraan dan kerjasama secara tebuka. Mitra adalah kata kunci , “nyawa” lembaga seni-budaya yang meraih kesuksesan. Hal-hal yang berat menjadi ringan karena bermitra, ada yang membantu menyukseskan program sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan dan sasaran. Hal-hal yang berat menjadi ringan karena bermitra, ada yang membantu menyukseskan program sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan dan sasaran. Tanpa bantuan dan kerja sama dengan pihak lain, lembag dan organisasi seni tentu akan mengalami hambatan. 
Setidaknya dengan media massa cetak atau elektronik, lembaga seni budaya perlu menjalin komunikasi yang hangat dan intensif. Apalah artinya kegiatan seni budaya yang hebat kalu masyarakat kurang mengenal? Lebih beruntung lembaga seni dengan kegiatan bias saja, tetapi sering dipublikasikan di media massa cetak atau elektronik akan memberi citra atau imej profesionalitas juga kredibilitasnya. Mitra yang ada harus dibina, dijaga agar selalu mendukung kegiatan lembaga, selanjutnya berupaya menambah mitra baru agar kinerja dan realisasi program kerja dapat dilaksanakan denagn baik diwaktu mendatang. 
            Ketujuh, membidik sasaran program dan bentuk kegiatan yang sesuai tujuan organisasi. Tidak semua lembaga mampu bekerja untuk semua cabang seni. Lembaga perlu memfokuskan diri pada penciptaan karya, penelitian, pelatihan dan pendidikan, atau pemasar produk seni. 
Fokus kegiatan seni diperlukan pada awal pembentukan lembaga seni dapat mengerjakan hal tertentu saja dahulu, agar kinerja anggota tim pelaksana dapat menjalankan pekerjaannya sesuai minat dan tugasnya. Setelah memiliki pengalaman dan mampu mengatasi problem yang dihadapi dengan jitu, efisien, dan efektif, maka ekspansi kegiatan mulai dapat digagas lebih lanjut.
            Kedelapan, menjaga dan menumbuhkan lembaga seni yang sehat dan professional. Lembaga yang sehat secar keuangan tidak merugi, hutang dalam jumlah wajar, dan kinerja yang memiliki progress dari waktu ke waktu. Para pekerja diupah secara layak. Para pengelola mempeoleh jamsostek. Lebih baik lagi, para pekerja memiliki polis asuransi jiwa dan kesehatan. 
Peningkatan sumber daya manusia dengan berbagai pelatihan, dan peningkatan sumber daya dengan melanjutkan pendidikan ke strata yang lebih tinggi sesuai kebutuhan lembaga. Ikatan lembaga dapt pula diperkuat dengan memberikan jaminan kesejahteraannya dengan tabungan perumahan, kredit kendaraan, dan bantuan pendidikan untuk anak-anaknya sehingga memotivasi peningkatan kinerja para pelaksana dan pengelola lembaga.
            Kesembilan,  Melakukan evaluasi rutin, berkala dan strategi manajemen perusahaan dengan analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunies, Treaths) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan  strategi perusahaan (Rangkuti, 2006 : 18).Strategi perencanaan SWOT menjadikan organisasi kesenian dapat mengevaluasi dirinya. Tata kelola kesenian bukanlah konspe asing yang ditumpangkan dari luar atas orang-orang kreatif yang tidak tahu menahu bagaimana cara menentukan stake holders dan perencanaan strategis (Lindsay, 2006 : 8). 
Selain itu, dengan manajemen strategis semua kekuatan dan kelemahan organisasi dapat digunakan untuk menetapkan peluang dan hambatan yang dihadapi organisasi seni tersebut sehingga lebih rasional, efisien, dan realistis dalam menetapkan visi-misi atau menjalankan programnya (Pernas, 2003). Jadi analisis SWOT merupakan deteksi dini untuk mengevaluasi diri agar lembaga atau oragnisasi seni bila pada posisi lemah dan terancam segera berbenah, memperkuat diri, menggunakan peluang yang ada sebaik-baiknya.
            Sembilan Pintu Keluar
                        Kesembilan syarat tersebut merupakan faktor internal lembaga dan dasar untuk melangkah, bahkan meloncat sebagai lembaga organisasi budaya yang unggul dan beroperasional secara berkelanjutan. Faktor eksternal lembaga dan organisasi juga sangat menentukan keberlangsungan dan keberlanjutan organisasi. Oleh sebab itu, faktor eksternal lembaga yang perlu diperhatikan dan dipahami agar fungsi maupun keterkaitannya dengan lembaga atau organisasi di luarnya relevan, adalah sebagai berikut :
            Pertama, intansi pemerintah di tingkat daerah/kota, provinsi dan pemerintah pusat. Tugas dan fungsi pemerintah kota/daerah yang berkaitan dengan lembaga atau organisasi seperti perizinan gangguan (HO). Program bantuan, kerja sama, atau izin pendidikan masyarakat (dikmas), dan kegiatan yang dapat disinergikan dengan karya seni seperti festival, ulang tahun instansi, lomba-lomba, dan sejenisnya. Kemampuan lembaga seni mengakses kegiatan dan bahkan sumber dana di Pemda/Pemkot dimulai dari syarat operasional lembaga dengan segala perizinan yang ditetapkan dinas terkait. Siapa tahu sesudah mengurus izin, sesudah itu mendapat bantuan hibah atau kredit lunak.
            Kedua, pemerintah provinsi perlu diakses juga penting karena kegiatan lintas kota/daerah biasanya ditangani oleh aparat di provinsi yaitu Taman Budaya, Dinas Kebudayaan, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan pemuda dan Olah Raga, misalnya dapt diakses dengan berbagai bentu kerjasama untuk lomba, panggung kesenian, dan sejenisnya. Hak organisasi seni apa pun untuk mengakses kerjasama dengan berbagai intansi pemerintah, termasuk bantuan gubernur.
            Keempat, pemerintah pusat untuk kegiatan eventdaerah maupun nasional dapat dilibatakan untuk mengakses organisasi di provinsi lain, atau daerah lain di Indonesia. Kerja sama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, maupun Kementrian Pendidikan (beserta lembaga pelaksana teknis seperti PPPPTK Seni dan Budaya , Pusat Bahasa, dan sejenisnya).  Tentu saja, fasilitas dan bentuk kerja sama dapat dikembangkan lebih intensif sesuai bidang garap masing-masing lembaga teknis kementrian dan departemen tersebut.
            Kelima, lembaga pendidikan formal dan non-formal non-seni budaya biasanya memerlukan tenaga atau lembaga seni budaya untuk melakukan pelatihan, dan pentas seni tradisi untuk berbagai acara. Peluangnya masih sangat besar. Animo belajar seni masih besar, khususnya cabang seni berbasis lomba, festival, dan popularitas. Lembaga pendidikan musik, fotografi, videografi, dan seni rupa, misalnya memiliki potensi peminta yang besar. Demikain pula belum termasuk bentuk seni pertunjukan yang diminati kalangan muda seperti tari modern, teater modern, dan etnomusikologi. Semoga dapat dijadikan mitra lembaga seni  budaya.
            Keenam, berbagai perusahaan swasta memiliki dana promosi dan CSR yang dapat diunduh untuk kegiatan seni budaya. Kemampuan lembaga seni bermitra dengan misalnya Djarum Bakti Budaya, tentu akan menjadi darah segar bagi kegiatan lembaga seni yang mengajukannya. Belum lagi, perusahaan lokal yang tertarik, peduli dan sevisi dengan kegiatan seni budaya . Berbagai bank, antara lain BII juga memiliki dana CSR untuk aktivitas kesenian.
            Ketujuh, tokoh dan masyarakat juga dapat menjadi motivator sekaligus “energi” organisasi seni budaya.  Peran tokoh populer atau berpengaruh dalam organisasi budaya menjadi penguat serta peluang memperkuat posisi maupun popularitas di masyarakat. Masyarakat cenderung mengiyakan pendapat tokoh tersebut berkaitan dengan lembaga kiprah atau faedah seni budaya yang dipayunginya.
 Peran tokoh di organisasi juga dapat menjadi bahan publikasi media massa, yang dampak positifnya dapat membangun citra bagus pula. Walaupun, bila tokoh tersebut mengalami masalah, tetap saja terkena imbas “buruk”-nya. Akan tetapi, organisasi seni budaya yang bernaung atau dipayungi tokoh masyarakat lebih bagus posisinya, dibandingkan dengan yang tanpa tokoh berpengaruh di berbagai bidang seni atau non-seni. Tak pelak lagi, banyak lembaga seni budaya merangkul tokoh tertentu untuk melegitimasi dan rekomendasi program, bahkan melobi memperoleh hibah.
            Kedelapan, para kreator dan seniman sejatinya bukan pesaing lembaga seni budaya.   Kalau kreator dan “seniman” bersaing dan mungkin “mematikan” seniman lain, hal tersebut sejatinya merugikan dirinya sendiri. Ia akan terisolasi dari pergaulan dan komunikasi  yang hangat dengan sesame profesi. Para kreator dan seniman-seniwati yang bermitra serta mau bekerja sama, lebih banyak memperoleh keuntungan daripada mengurung diri, atau memaknai lain sebagai “penghalang” atau bahkan “pecundang” . 
Bertarung dalam kualitas karya pribadi atau kelompok, tentu sesuatu yang alamiah dan ketentuan kultural  yang harus dijunjung tinggi. Namun, sebagai lembaga seni harus terbuka, membuka diri sebagai “abdi” para kreator dan seniman-seniwati dari belahan manapun. Kemasyuran Yayasan Bagong Kussudiarja dengan program Jagongan Wagen karena terbuka dan menjadi “abdi” bagi seniman dan kreator (tua, muda) dari berbagai ragam penggiat seni, dari kampus, sanggar, guru, siswa, dan kalangan kreator awam pula.
            Kesembilan,  bantuan atau hibah luar negeri baik melalui kedutaan negara sahabat, atau lembaga non-pemerintah, semacam HiVos, The Ford Foundation, dan sejenisnya dapat dijadikan “donor darah” bagi organisasi seni. Tentu saja, ada seleksi dan syarat yang harus dipenuhi. Ketentuan dan syarat administrasi yang harus dipenuhi dapat diunduh di website kedutaan atau lembaga non-pemerintah asing lainnya. Jadi tergantung niat, kebutuhan, dan keberanian berkompetisi mendapatkan dana tersebut atau tidak. Banyak cara dan upaya meraih dana serta bantuan dari luar negeri, asal kemampuan manajerial lembaga dapat dipercaya, professional, dan akuntabel.
            Sembilan langkah ke dalam dan sembilan jalan ke luar merupakan upaya strategis menjadikan organisasi seni budaya yang mandiri,  professional, dan berkelanjutan. Bukan hanya organisasi papan nama, atau organisasi sulapan “yang hari ini ada, besok hilang entah ke mana”. Kunci sebelum menjangkau kegiatan di luar lembaga seni, penguatan personil dan pembenahan system agar solid merupakan tantangan tersendiri yang harus segera diselesaikan. Selama faktor internal organisasi kompak dalam menjalankan visi, misi, dan tujuan organisasi melakukan evaluasi dengan analisis SWOT, kemudian ditindaklanjuti secara konsisten, maka organisasi seni budaya tersebut akan berkembang, bahkan terus eksis dan berkelanjutan.
           
Semoga bermanfaat salam 3E